A Flexible Concept

“What does God look like, and what does He do?”
“Don’t ask me. God’s God. He’s everywhere, watching what we do, judging whether it’s good or bad.”
“Sounds like a soccer referee.”
“Sort of, i guess.”

“So God wears shorts, has a whistle sticking out of His mouth, and keeps an eye on the clock?”
“You know that’s not what i mean,” Hoshino said.

“Are the Japanese God and the foreign God relatives, or maybe enemies?”
“How should i know?”

“Listen – God only exists in people’s minds. Especially in Japan, God’s always been kind of a flexible concept. Look at what happened after the war. Douglas MacArthur ordered the divine emperor to quit being God, and he did, making a speech saying he was just an ordinary person. So after 1946 he wasn’t God anymore. That’s what Japanese Gods are like – they can be tweaked and adjusted. Some American chomping on a cheap pipe gives the order and presto change-o – God’s no longer God. A very postmodern kind of thing. If you think God’s there, He is. If you don’t, He isn’t. And if that’s what God’s like, i wouldn’t worry about it.”

– Haruki Murakami, Kafka on The Shore.

 

Speechless by amazement, I was.

 

-Jakarta, 2015

Dialog Dini Hari #2

Surga

“Aku pergi dulu.”

“Mau kemana kau?”

“Mencari Ibu.”

“Mau apa kau?”

“Meminta maaf.”

“Atas?”

“Saya tak bisa menyusulnya ke Surga.”
 

Cermin

“Sedang apa kau?”

“Berkelahi”

“Dengan?”

“Seseorang.”

“Di mana dia?”

“Di sini. Di dalam cermin”
 

Televisi

“Apa yang kau tidak suka?”

“Televisi.”

“Karena?”

“Hidup saya sudah penuh dengan drama.”

 

-Jakarta,2015

Ibu

Ibuku bukan matahari.
Pun tak seputih melati.
Matanya selalu menyinari.
Meski tak berisi.
Ia sewarna-warni pelangi

Ibuku bukan malaikat.
Tak punya banyak bakat.
Mencintai tanpa sekat.
Memaafkan tanpa syarat.
Ia adalah berkat.

Ibuku bukan pemrotes.
Tak suka mengetes.
Tak suka anaknya menangis barang setetes.

Ibuku pandai menanak nasi
Pun melipat dasi.
Ia tak pandai membuat solusi.
Namun selalu mencoba mengerti.

Ibuku tak suka buku.
Ibuku tak suka bertamu.
meski tanpa mahkota ratu.
Ia percaya anaknya tanpa ragu.

Ibuku tak sekeras batu-batu.
Ibuku tak selembut salju.
Saat kami belum mengetuk pintu.
Ia sudah setia menunggu.

Ibuku tak punya istana.
Ibuku tak banyak meminta.
Peluknya segemerlap kota.
Nasihatnya adalah harta.

Ia adalah cinta.

– Jakarta, 2015

Balada Dua Puluh Tahun

Barangkali saya aneh, atau mungkin kadar melankolis saya sedang tinggi-tingginya. Tapi yang pasti bukan karena kesepian yang membuat saya kerap bertukar pikiran dengan diri sendiri. Sebab, tak ada yang lebih melegakan dari dapat bertanya sebanyak-banyaknya dan menjawab sebebas-bebasnya kan? Setidaknya, mungkin itu alasan yang paling tepat saya lebih suka berdialog dengan diri sendiri. Rumit? Ya tentu, hidup tak semudah Duo Serigala pamer tetek di televisi lalu menjadi penyanyi terkenal sementara banyak musisi yang kelojotan membuat musik yang apik namun tak pernah dipanggil acara musik pagi. Dan inilah 20 tanya-jawab dari-saya-untuk-saya di umur saya yang ke-20:

 

1. Selamat ulang tahun Nik! Boleh tahu bagaimana kamu memaknai ulang tahun?

Terima kasih, Nik! Bagi saya ulang tahun hanyalah sebuah repetisi atas bertambahnya tua seseorang, yang berarti semakin tua, semakin rumit. Bertambah usia sama saja dengan detik bom waktu terus mundur menuju awal yang paling awal; tiada. Lagipula bertambah tua tidak sama dengan bertambah dewasa. Apa yang spesial?

 

2. Saya suka jawaban kamu. Boleh kutahu apa yang kamu ingin di umur 20 ini?

Saat ini, yang saya hanya ingin vakansi ketempat terasing yang bisa saya datangi. Sendiri. Menemukan diri sendiri. Menjadi diri sendiri.

 

3. Omong-omong tentang vakansi, kemarin kamu baru saja bertandang ke Jogjakarta. Pendapatmu?

Yogyakarta dinamai Daerah Istimewa Yogyakarta bukan tanpa alasan. Sebab kota ini juga telah menjelma menjadi suatu memori yang istimewa bagi saya. Disana panas sekali, namun saya suka kehidupan disana. Tidak banyak bangunan tinggi dan orang dengan dagu tinggi di kota. Hal yang sederhana namun langka untuk ditemukan di Jakarta.

 

4. Mari kita ganti topik, apa boleh kamu beri tahu arti namamu?

Boleh, namun jujur saya tidak tahu sama sekali artinya dan tidak berminat mencari lebih jauh. Mungkin ibu saya terlalu mengidolai Nicolas Cage di film Leaving Las Vegas atau mungkin ayah saya rajin membaca buku nama anak-anak beserta artinya. Entahlah, bisa saja saya benar, sebab ayah dan ibu gemar membuat anak diawal sampai pertengahan 90an.

 

5. Oh ayahmu suka membaca? Kudengar kamu pun begitu. Apa benar? Kenapa?

Ya, saya suka membaca. Saya membaca agar bisa menjawab pertanyaan diri saya sendiri yang tak bisa saya temukan di kepala saya maupun orang terdekat saya. Saya membaca sebab otot tidak bisa membuat topik pembicaraan yang baru.

 

6. Mengenai mengganti topik pembicaraan, kamu suka membaca dan berbicara dengan orang lain. Kok ironis?

Jangan bodoh! Memangnya buku bisa diajak berkomunikasi? Lagipula disamping suka membaca, manusia tidak kalah menarik kok. Saya bahkan jatuh cinta pada beberapa dari mereka. Meski beberapa juga saya harap lebih baik masuk neraka. Itupun kalau Neraka memang ada.

 

7.  Loh kamu tidak percaya Neraka itu ada? Kamu lupa dosa dan agama?

Perkara dosa; bagimu dosamu; bagiku dosaku. Oke, kamu boleh mengingatkan saya, tapi tidak memaksakan kehendakmu. Memangnya kamu yang masuk Neraka kalau saya yang berbuat dosa? Perkara agama, saya masih percaya ada sesuatu yang lebih besar dari manusia dan semesta ini. Namun seperti penis, keyakinan sebaiknya tidak usah diumbar. Apalagi mengejek keyakinan orang lain. Memangnya mau penis kamu saya ejek?

 

8. Wah ternyata kamu memang arogan seperti para anonim bilang tentangmu di ask.fm ya?

Ibu saya selalu bilang “Jangan terlihat ramah terhadap orang lain, kamu tak pernah tahu apa tujuan dia”, dan saya meyakini itu. Toh, saya hanya arogan pada orang asing saja, kamu boleh memastikan itu pada teman-teman dekat saya. Dan hanya karena saya berada di dunia maya, bukan berarti saya harus mengganti prinsip saya, kan?

 

9. Lalu kenapa arogan dengan saya juga yang tidak lain juga dirimu?

Sebab saya terkadang merasa asing terhadap diri sendiri.

 

10. Oke, karena saya tidak mau diabaikan, mari ganti topik. Boleh tahu alasan kamu suka menulis puisi? Lelaki suka puisi nanti dicap lenje bagaimana?

Duh, kenapa orang gemar sekali mengotak-ngotakan sesuatu dalam gender? Puisi itu tidak berkelamin. Lagipula, penyair-penyair terkenal di Indonesia banyak yang berkelamin lelaki, ada Sapardi, joko Pinurbo, Rendra, Chairil Anwar. Jangan-jangan kamu tahunya cuman Zarry Hendrik?

 

11. Hmm, baiklah. Ngomong-ngomong sudah berapa lama sendiri? Kamu bisa mati perjaka kalau begini terus.

Hampir 5 tahun mungkin? Dalam kurun 5 tahun itu saya beberapa kali jatuh cinta. Namun ternyata saya lebih mencintai diri saya sendiri sampai saat ini. Lagipula apa salahnya masih sendiri diumur 20? Saya punya kehidupan yang menyenangkan dan laptop untuk berbagi cerita tentang indahnya hari-hari saya. Sepertinya saya tidak semenyedihkan itu. Haha.

 

12. Namun, pasti kamu merasa sepi kan? Manusia kan butuh ditemani juga!

Ya, saya harus akui bagian ini. Beberapa kali saya menemukan diri saya butuh teman untuk sekedar diajak gombal-gombalan, bertukar surat cinta, diucapkan selamat malam sebelum tidur. Tapi nyatanya saya masih bisa hidup dengan sehat dan senang sampai saat ini tanpa pasangan. Jadi mari kita simpulkan itu bukan masalah besar untuk saya.

 

13. Ya ya ya. Bagaimana kuliahmu?

Semuanya berjalan baik sesuai dengan ketidakinginan saya.

 

14. Sudah kubilang kamu salah jurusan! Dasar bodoh!

Sudah kubilang juga hidup tidak semudah Duo Serigala pamer tetek dan jadi artis di televisi! Saya sudah memilih dan harus bertanggung jawab menyelesaikannya. Masalah tidak suka atau suka itu konsekuensi. Memangnya uang, waktu, energi ayah saya untuk membayar kuliah keluar dari pantatmu?  Lagipula kalau saya tahu, mana mungkin saya tetap memilih masuk IT. Bodoh.

 

15. Lalu, rencanamu kedepan apa?

Menjalani hidup dengan baik hingga nanti pemakaman saya layak ditangisi orang banyak.

 

16. O, Boleh bagi pandanganmu tentang pernikahan?

Saya suka dengan konsep kesetiaan dalam pernikahan. Meski saya tahu ada yang lebih berat dari pernikahan; hari-hari setelahnya. Maka dari itu saya sangat memaklumi banyak orang yang tidak ingin menikah. Lebih baik mencegah daripada menyesal nantinya.

 

17. Tapi kamu pasti menikah kan? Apa kata tetangga jika kamu perjaka sampai mati?

Ya bisa saja. Jika saya menemukan seseorang yang bisa bertahan dengan ego saya dan sebaliknya. Bedebah kau! Perintah Tuhan saja ada yang tidak saya dengarkan, apalagi suara tetangga?

 

18. Hahahaha. Dasar brengsek! Bicara tentang tidur, mengapa seringkali kamu begadang?

Sebab pada dini hari banyak memori yang mengendap-endap lewat jendela kamar saya secara tiba-tiba hanya untuk sekedar menyapa saya. Memori-memori ini yang membuat saya sering instropeksi dan merasa beruntung dilahirkan di keluarga ini. Suatu hal yang saya tidak bisa saya temukan disaat pagi sampai malam.

 

19. Baiklah waktu kita hampir habis, bagaimana kamu memaknai kata “perjalanan”?

“Bagi saya perjalanan memang selalu tentang cinta-cintaan. Tentang rasa yang hilang tiba-tiba. Tentang luka yang akan kering segera. Tentang kesepakatan- yang mungkin pahit, mungkin sakit- antara dua dada yang memiliki rasa tak pernah persis.”

 

20. Cukup, kita sudah terlalu serius! Mari akhiri dialog ini dengan 5 kata nasihat untuk dirimu sendiri.

Lebih banyak memeluk diri sendiri.

Hari Yang Baik

Pada pagi hari,
Aku dan kau akan memeluk ragu yang diciptakan dada masing-masing dan angin menguapkan pahit kopi hitam kesukaanmu lebih cepat dari detak waktu yang terlalu malas untuk kita hitung sebab kita terlalu sibuk menghitung jarak ganjil disela-sela jari kita.

 

Lalu pada siang hari,
Matahari begitu tinggi , begitu tinggi sehingga menerangi masa-masa terdahulu — disaat aku setiap hari setiap waktu bermimpi menyelami matamu tanpa harus menelan airnya sebab matamu adalah sungai dan aku tak bisa berenang, nona.

 

Di malam hari,
Aku dan kau akan tidur lebih larut dari biasanya karena kerjaan banyak sekali, jalanan macet sekali, dan aku rindu sekali. Lagi.

 
-Jakarta, 2014

Dialog Dini Hari

Keyakinan

“Saya cinta kamu.”

“Saya tidak.”

“Mengapa?”

“Kita tidak satu keyakinan.”

“Loh, kita sama-sama Islam, kan?”

“Memangnya keyakinan selalu urusan agama?”

 

 

Berkelana

“Dari mana saja kamu?”

“Mencari tempat, bu.”

“Tempat apa?

“Surga.”

“Dasar bodoh! Surga ada ditelapak kakiku!”

 

 

Pahit

“Kopi?”

“Tidak.”

“Lalu?”

“Teh manis.”

“Beri saya 1 alasan.”

“Hidup saya sudah terlalu pahit.”

– Jakarta, 2014

 

Setengah Lusin Puisi dan Aku Tak Kemana Mana

Ekaristi

Pada setiap hari Minggu
lonceng berdendang lebih nyaring
dan aku berdoa lebih lama.
Tentang hari yang akan dimulai.
Tentang cinta yang belum usai.

 

 

Memastikan

Kurasakan sepasang mata tumbuh dipunggungku.
Menerka-nerka.
Sekiranya masih ada yang tersisa.

 

 

Tumpah

Keemasan masa lalu adalah benalu.
Kau adalah kopi hitam yang terus diaduk
sampai tumpah
sebab tanganmu telah dingin dan asin
oleh air mata yang turun lebih rajin.

 

 

Sebab yang Baik

Sepuluh langkah lagi dan aku tak kemana-mana
sebab matamu adalah hujan deras yang palin deras.
Membasahi kemeja yang akan segera kuganti dengan sebuah pelukan.

 

 

Gaduh

Pagi yang gaduh membangunkanku
dari tidur yang ganjil.
Memekakan telinga yang seringkali pasrah
kala gelisah terus bertambah.

lalu kutelusuri nyaring bunyi itu
disetiap sudut ruangan sampai pekarangan rumahku
yang tandus.
Nihil.
Tak kutemukan apa-apa.

sebab mungkin dia tak pernah pergi.
Sebab mungkin dia akan selalu tinggal dihati.

 

 

Terbang

Sore yang muda dan aku berlari kecil
dengan sesekali berharap menjadi
layang-layang

Terbang.
Hilang.

Tak tahu jalan pulang.

Jakarta,2014

Surat Untuk Diri Sendiri

Hai Nik,

Tahun ini berjalan dengan cukup berat, ya? Tapi tidak apa-apa, kita tahu kan yang sedang kita lakukan baik untuk kita? Bagus kalo kau masih percaya itu. Kita tetap berjuang bersama, ya?

Kau makin dewasa? Hah, itu hanya pertanyaan retoris, tidak perlu kau jawab sebenarnya. Karena saya tahu kau selalu membenci ketika terlalu banyak yang harus dipikirkan. Saya pun benci sering sekali membuat diri saya bertanya-tanya, mengisi penuh kepala dengan segudang tanda tanya. Dan saya benci saya harus kebingungan dengan isi kepala saya sendiri.

Semua yang terbaik adalah pengharapan saya padamu. Meskipun kita tahu, yang terbaik terkadang tidak bisa memperbaiki. Semua orang diluar sana berkata bahwa takdir yang mengatur hidup kita, padahal kita sendiri masih meraba-raba apa itu sebenarnya takdir, ya kan Nik?

Tapi apapun yang terjadi dihidup kita ini. Sebaik dan seburuk apapun itu. Saya mohon untuk kau selalu meinkmatinya. Kau tidak pernah benar-benar sendiri, Nik. Ada saya. Dan tidak ada yang lebih setia menemanimu, selain saya. Bahkan disaat kamu membenci saya, mencari saya, sebenarnya saya selalu ada untukmu. Hanya terkadang kau terlalu sibuk sehingga mengabaikan saya..

Tentang semua mimpi yang sudah kita tanam dikepala dan hati, terus berusaha ya. Meski terkadang terangnya mulai meredup, jaga semangat api kita. Karena saya percaya bahwa dengan mimpi-mimpi itu, kita akan semakin dekat dengan mimpi kita membantu sesama. Begitupun tentang perasaan kita. Diskusi-diskusi panjang yang sangat jarang bertemu kata sepakat itu hanya tinggal menunggu waktu. Percayalah suatu hari nanti kita akan menemukan rumah yang terbaik. Rumah untuk beristirahat, rumah untuk berlindung kala dunia luar terlalu kejam.

Lebih sering memeluk dirimu sendiri, Nik. Karena tidak ada yang lebih baik dari memeluk dirimu sendiri. Kamu tahu itu kan?

 

Mencintaimu dengan selalu,

Dirimu sendiri.

 

 

Jakarta, 2014

*Surat ini juga telah dimuat di akun ask.fm saya untuk jawaban atas pertanyaan anonim yang baik hati.

Subur dan Mati

 

Tumbuh Subur

Hatiku adalah tanah.

Dia diludahi, diinjak, karena memang tak berarti.

Tapi, seperti apa yang kamu katakan lusa kemarin,

kamu ingin menjadi petani bagi tanahku.

Menanami, merawat, dan bersabar setiap hari,

meski kamu tahu kapan saja aku bisa mati .

 

 

Sungai Mati

Kukumpulkan sisa-sisa dirimu dirumahku.

Terikat rapi pada kotak berpita cantik.

Akan kurelakan pada sungai mati

Namun,

Tak akan pernah kuhanyutkan itu ditepi.

Karena aku takut, beberapa akan kembali.

 

Jakarta, 2014

 

Untuk Wanita yang Akhirnya Pergi

Sayang
Hari ini begitu cerah.
Semoga kamu sama cerahnya dengan hari ini.

Saat itu merupakan jam-jam yang sibuk di kota ini. Aku dengan motor tuaku, menunggu lampu merah dengan terburu-buru agar dapat menjemputmu tepat waktu. “Hargain waktu dong, biar orang-orang ngehargain kamu juga.” omelmu selalu ketika aku datang terlambat untuk menepati janji, dengan orang lain maupun dirimu. Lampu hijau yang telah berganti didepan merupakan tanda bahwa aku harus menjalankan motorku.

BRAK!!

Silau. Gelap. Berat.

Aku tertabrak sebuah angkot yang menembus lampu merah. Dari para penolong yang berhasil mengangkutku ke Rumah Sakit, aku mengetahui bahwa angkot tersebut melarikan diri setelah menabraku, namun berhasil ditangkap dan dihabisi oleh warga yang menangkap. Ah, aku tidak peduli lagi dengan nasib bajingan itu.

**

Hari ini adalah tepat 2 tahun sejak kejadian penabrakan itu. Uang tabungan kita habis, sejak saat itu, kehidupan kita sangatlah berubah, aku tak bisa lagi mencari uang seperti saat aku menjadi kepala montir bengkel pamanku dan gajimu sebagai perawat puskesmas bahkan tidak bisa mencukupi kebutuhanmu sendiri.

Aku selalu percaya bahwa uang adalah sumber bahagia. Kata-kata bijak “Money can’t buy happiness” selalu saja mebuat perutku geli tiap kali aku mendengar kalimat itu. Uang yang bisa membuatmu tidak kehujanan, uang yang bisa membuatmu pergi melihat sisi dunia yang lain, bahkan uang yang bisa menyembuhkanmu ketika sakit. Dasar orang sok bijak bodoh.

Hari-hari setelahnya mulai diisi dengan pertengkaran. Entah, tapi meski perut kelaparan, kita tetap semangat untuk menyalahkan satu sama lain. Aku perlahan-lahan berubah dimatamu, dari seorang lelaki yang gagah dan kamu cintai menjadi seorang lelaki cacat yang hanya bisa menyusahkan. Dan kamupun berubah dimataku, dari wanita lembut yang setia dengan kopi hangat setiap paginya, menjadi wanita cerewet yang antagonis.

**

Puncaknya tadi malam, kita bertengkar hebat karena kelaparan yang sama hebatnya. Kamu  kembali membereskan barang-barang milikmu dan bersiap untuk mencoba pergi lagi. Namun, kali ini akupun kembali berhasil memohon padamu untuk tetap  tinggal, meski kutahu kamu akan mencoba pergi lagi dalam waktu dekat. Maaf.

Aku baru terbangun ketika matahari sudah berada diatas kepala. Kamu sudah pergi, mungkin kerja kupikir. Tapi, kamar ini menjadi sangat kosong, karena ternyata kamupun pergi dengan barang-barang yang kaukemas kemarin malam. Secarik kertas tertinggal dilantai, aku tahu bahwa kertas itu bukanlah sampah, karena meski dengan perut yang lapar, kamu masih tetap membersihkan rumah ini sehingga nyaman yang tinggal didalamnya.

“Terkadang, pergi tak hanya meninggalkan luka bagi dia yang diam tak bergerak,tapi juga dia yang pergi beranjak. Aku pergi, suamiku.”

Jakarta,2014