Raya adalah penggemar bulan dan malam. Baginya, bulan tidak pernah terlalu angkuh dengan sinar terang yang dimilikinya. Sedangkan, gelapnya malam adalah satu-satunya waktu, saat dia bisa menyembunyikan isak dan mata bengkaknya dari penglihatan orang sekitar.
**
Raya sedang menikmati kopi kesukaannya, ketika dia mendengar seseorang lelaki bersuara berat memanggil nama yang sudah ia pakai sejak 23 tahun lalu.
“Raya!” suara yang sangat khas bagi Raya, hanya saja suara itu 5 tahun belakangan ini sudah tidak lagi terdengar.
“Bram?” Raya mematung, tidak yakin dengan apa yang baru saja indra pendengarannya cerna.
Bram adalah mantan pacar Raya, lelaki yang pernah dianggapnya bahkan terlalu sempurna untuk berjalan disebelah tubuhnya. Lelaki ini adalah alasan Raya makan satu kali dalam sehari, untuk membeli handphone yang canggih, agar bisa bertatap muka dengan Bram yang jauh disana, walau hanya sekedar melewati layar monitor handphone.
“Kemana saja kamu!?” Mata Raya yang penuh khawatir, terus mencari sosok wanita atau anak kecil atau cincin dijari Bram.
“Syukurlah.” Dalam hati Raya. Tidak ada cincin atau wanita ataupun anak kecil bersama Bram.
Raya sedang memutar otaknya untuk melanjutkan percakapan itu, ketika Bram dengan tenang memberi sebuah amplop coklat.
“Datang ke resepsi pernikahanku ya, ajak adikmu.”
Bram menyebutkan satu per satu kata tersebut seperti tidak pernah ada nama Raya dihatinya.
Raya mematung, lagi.
**
“Kak, sudah larut begini, belum tidur?”
“Kamu tahu kan, dik. Aku terlalu mencintai gelap malam. Hanya kini, aku membenci apapun yang lebih gelap dari langit malam.”
“Memangnya ada yang lebih gelap dari langit malam?”
“Ada, cinta yang terlalu dalam, dik.”
Jakarta, 2013