Sepakat

Kita pernah sepakat
bahwa cinta adalah dua cangkir yang tetap hangat
meski kita tahu
dingin malam adalah sebuah akibat.

Kita pernah sepakat
bahwa cinta adalah peluk hingga sekarat
meski kita tahu
salah satu dari kita akan wafat.

Kita pernah sepakat
bahwa cinta adalah lilin yang tetap hidup
meski kita tahu
bahwa angin adalah satu yang buatnya redup.

Jakarta, 2014

Gelap Malam

Raya adalah penggemar bulan dan malam. Baginya, bulan tidak pernah terlalu angkuh dengan sinar terang yang dimilikinya. Sedangkan, gelapnya malam adalah satu-satunya waktu, saat dia bisa menyembunyikan isak dan mata bengkaknya dari penglihatan orang sekitar.

**

Raya sedang menikmati kopi kesukaannya, ketika dia mendengar seseorang lelaki bersuara berat memanggil nama yang sudah ia pakai sejak 23 tahun lalu.

“Raya!” suara yang sangat khas bagi Raya, hanya saja suara itu 5 tahun belakangan ini sudah tidak lagi terdengar.

“Bram?” Raya mematung, tidak yakin dengan apa yang baru saja indra pendengarannya cerna.

Bram adalah mantan pacar Raya, lelaki yang pernah dianggapnya bahkan terlalu sempurna untuk berjalan disebelah tubuhnya. Lelaki ini adalah alasan Raya makan satu kali dalam sehari, untuk membeli handphone yang canggih, agar bisa bertatap muka dengan Bram yang jauh disana, walau hanya sekedar melewati layar monitor handphone.

“Kemana saja kamu!?” Mata Raya yang penuh khawatir, terus mencari sosok wanita atau anak kecil atau cincin dijari Bram.

“Syukurlah.” Dalam hati Raya. Tidak ada cincin atau wanita ataupun anak kecil bersama Bram.

Raya sedang memutar otaknya untuk melanjutkan percakapan itu, ketika Bram dengan tenang memberi sebuah amplop coklat.

“Datang ke resepsi pernikahanku ya, ajak adikmu.”
Bram menyebutkan satu per satu kata tersebut seperti tidak pernah ada nama Raya dihatinya.

Raya mematung, lagi.

**

“Kak, sudah larut begini, belum tidur?”

“Kamu tahu kan, dik. Aku terlalu mencintai gelap malam. Hanya kini, aku membenci apapun yang lebih gelap dari langit malam.”

“Memangnya ada yang lebih gelap dari langit malam?”

“Ada, cinta yang terlalu dalam, dik.”

 

 

Jakarta, 2013

Waktu Pemenangnya

images (5)

Selamat, anda menang lagi.

Meski harus mengantri panjang untuk sebuah lampu, jika denganmu, akan kunikmati. Sebab; waktu bukanlah teman yang baik dalam hubungan hati. Sebab; semakin dewasa, semakin lelah aku mencari sela-sela jari waktu untuk denganmu yang berarti. Sebab; semestinya cinta tidak perlu cuti.

Sekarang, aku tidak bisa lagi melihatmu lebih dekat atau lebih rapat. Minus kacamataku semakin bertambah, sebab aku hanya bisa memperhatikanmu dari jauh, dan akan semakin jauh. Maka biarkan aku menjadi pengingat ulung tentang urusan kenangan dahulu, sambil sesekali mengucap doa semoga kamu akan baik melulu.

Pada suatu nanti, manakala namamu yang tetap terucap didalam doa, bersyukurlah. karena kamu akan sama pentingnya seperti kata amin dalam sebuah doa yang lelah kalah. Bisa saja aku menyuruh Tuhanku untuk memutarbalikan waktu, atau mengambalikanmu padaku. Tapi sepertinya waktu tidak akan memberi celah, karena waktu tak pernah gegabah dalam mengambil langkah. Maaf, jika kita kalah oleh waktu.

 

Jakarta, 2013

Musim dan Kita

Terkadang,
Hujan turun lebih cepat dari kedipan.
Membuat semua kehujanan.
Kuyup dihajar kenangan.

Tak lama,
Kemarau datang sehangat cangkir kopi baru.
sehangat kita yang pernah hidup dulu.
Hanya saja akhirnya mati dibunuh candu.

Hari ini,
Senja tak lagi semerah pendahulunya.
Malam tak lagi sebodoh tanda tanya.
Dan pagi tak lagi sama setelah anda pergi, nona.

Jakarta, 2013

Suatu Malam di Bulan Oktober

Malam ini begitu dingin.
Merampas hangat yang dimiliki hati.
Menggantinya dengan kebahagiaan semu yang sejati.

Malam ini begitu dingin.
Menambah perkara yang telah banyak.
Melarang mata untuk terpejam nyenyak.

Malam ini begitu dingin.
Mengagetkan dia yang duduk termangu.
Mewarnai bibirnya hingga seperti ungu.

Malam ini begitu dingin.
Menembus baju tebal yang tak lagi baru.
Memadamkan tungku yang kini berabu.

Jakarta, 2013